Kemenangan Muslimin dalam Perang Nahavand pada 642 sangat berdampak bagi Imperium Persia. Kerajaan itu tidak lagi berdaya menghadapi serangan-serangan dari luar.
Apalagi, para pemimpinnya terlalu sibuk bertikai satu sama lain. Keruntuhan negeri yang pernah menjadi adidaya berbilang abad lamanya tinggal menunggu waktu saja.
Khalifah Umar bin Khattab merasa yakin, inilah saat yang tepat bagi kaum Muslimin untuk menaklukkan Persia. Kala itu, Dataran Tinggi Iran terbagi ke dalam tiga wilayah besar, yakni Azerbaijan di utara, Isfahan di tengah, dan Fars di selatan. Sang amirul mu`minin memutuskan target pertamanya adalah Isfahan. Dengan menguasai pusat Kerajaan Persia, syiar Islam diharapkan akan semakin mudah tersebar ke seluruh negeri tersebut.
Kaisar Yazdgard III mendirikan benteng pertahanan di Merv, Khurasan—kini sekitar Kota Mary, Turkmenistan. Raja Persia itu tidak sanggup menyaingi kekuatan militer Islam. Penyebab utamanya bukanlah kurangnya amunisi atau sedikitnya jumlah tentara, melainkan tiadanya persatuan yang kokoh.
Khalid bin Walid Sebagai Panglima Perang
Umar mengangkat Khalid bin Walid sebagai pemimpin misi penaklukan Persia. Sebelumnya, sosok berjulukan “Pedang Allah yang terhunus” itu sukses memimpin berbagai ekspedisi, termasuk pembebasan Syam (Suriah) dari tangan Romawi Timur (Bizantium).
Kabar pengangkatan Khalid semakin mencemaskan Yazdgard. Namun, jenderal Muslim yang masyhur karena tidak pernah sekali pun kalah dalam 100 pertempuran itu lebih dahulu berpulang ke rahmatullah. Ibnu Walid wafat dengan tenang pada 642 di Homs, Suriah (sumber lain mengatakan: Madinah). Abdullah bin Utsman kemudian diangkat sebagai komandan pasukan Muslim yang hendak menyerang Isfahan.
Dari Bahrain, al-A’la bin al-Hadrami melancarkan serangan untuk menduduki Fars. Misi yang disusun al-A’la tanpa sepengetahuan Khalifah Umar itu berakhir kegagalan. Amirul mu`minin kemudian menunjuk Sa’ad bin Abi Waqqash untuk menggantikan al-A’la. Umar juga mengutus Utbah bin Ghazwan dan pasukannya untuk membantu bala tentara yang telanjur diterjunkan al-A’la dan masih bertahan di sekitar pantai Fars.
Maka, secara garis besar Persia benar-benar terkepung dari tiga penjuru sekaligus: utara, tengah, dan selatan. Pada 651, Umar mengizinkan pasukan Muslimin untuk memulai misi merebut Khurasan, benteng terakhir Raja Yazdgard. Pasukan Islam itu dipimpin Ahnaf bin Qais.
Pengepungan Persia Berujung Kematian Sang Kaisar
Meskipun berhasil lolos dari kepungan pasukan Islam, nasib Yazdgard tetap berakhir nahas. Ia memang mendapatkan suaka politik dari khaqan Turki, tetapi raja Majusi ini hidup terlunta-lunta di negeri orang. Kondisinya amat jauh berbeda dengan masa lalu, ketika dirinya bergelimang harta dan kekuasaan.
Mengetahui dirinya adalah buronan kaum Muslimin. Sang kaisar bersembunyi di sebuah pabrik penggilingan di tepi sungai. Si pemilik pabrik ternyata mengetahui bahwa yang berlindung di sana adalah seorang buronan yang lama dicari-cari penguasa.
Malam harinya, ia pun diam-diam mendekati bangsawan Persia itu dan memancungnya. Kepala Yazdgard lalu dibawanya ke Merv (sekarangg Turkmenistan) sebagai barang bukti untuk mengambil hadiah.
Dan wilayah-wilayah Persia yang telah ditaklukkan pun tunduh di bawah kekhalifan Islam yang kala itu dipimpin oleh Utsman bin Affan.
Sumber: republika.id