Sahabat Qur’an, rasanya selalu ada tradisi, budaya, ataupun karakteristik Ramadan yang abadi dalam memori sejarah; diturunkan dari generasi ke generasi, membawa ingatan-ingatan masa silam sebagai warisan budaya yang terus dipertahankan.
Begitupun di Palestina, awal Ramadhan selalu identik dengan kegiatan membersihkan masjid, hiasan lampu warna-warni dan lentera Ramadan (fanous) yang dipasang sepanjang jalan. Orang-orang berkumpul di alun-alun kota, bergembira bersama anak-anak yang dipakaikan baju tradisional, juga menikmati syair yang diperdengarkan oleh seorang lelaki tua. Banyak dari kebiasaan Ramadan di Palestina telah menyatu dengan semangat zaman dan beradaptasi dengannya.
Tradisi khusus lain pada Ramadan adalah midfar al-iftar atau meriam Ramadan yang dibunyikan setiap magrib untuk menandai masuknya waktu iftar atau berbuka puasa. Meriam iftar pertama kali digunakan pada 865 Hijriah oleh seorang Gubernur Utsmani di Kairo, Khosh Qadam. Dikisahkan bahwa Khosh Qadam diberi meriam sebagai hadiah yang kemudian diujicobakan saat berbuka puasa pada awal Ramadan.
Ketika meriam itu ditembakkan, seluruh Kairo pun bergema. Suara meriam tersebut dianggap sebagai terobosan genius yang mampu menjangkau seluruh tempat, bahkan yang jauh dengan masjid, sehingga semua orang dapat berbuka puasa tepat waktu[2]. Meriam iftar ini kemudian dijadikan sebuah tradisi di semua wilayah yang berada dalam pemerintahan Utsmani, termasuk Palestina.
“Menembakkan meriam adalah metode untuk mengumumkan waktu buka puasa, karena ketika itu tidak ada jam tangan dan jam dinding di rumah-rumah,” kata Dr. Mohamad Ouedi, profesor Sejarah Arab Modern di Institut Studi Diplomatik di Saudi Arabia. “Teknologi modern, seperti perangkat yang memperkuat suara, juga belum ada pada saat itu.” Tradisi ini pun hidup dan menjadi bagian tak terpisahkan dari wilayah Utsmani, tak terkecuali Levantina (Syam) dan al-Quds (Yerusalem).
Suasana Berubah Sejak Kehadiran Penjajah Israel
Namun, Israel yang menduduki al-Quds Timur sejak 1967, terus membatasi penggunaan meriam Ramadan tersebut bahkan melarangnya. Sandouka mengatakan bahwa sulit untuk mendapatkan izin membunyikan meriam iftar di al-Quds, dan di beberapa kota lainnya dilarang sama sekali
Saat ini, azan dari pengeras suara memang telah digunakan secara luas untuk menandai waktu berbuka, tetapi di al-Quds, umat Islam memilih untuk mengikuti tradisi dan mendengarkan suara tembakan meriam sebagai tanda waktu berbuka puasa, sebab suara tersebut juga menghadirkan kenangan keemasan masa lalu, ketika al-Quds masih menjadi rumah yang damai bagi para penduduknya.
Di Gaza, situasinya tidak jauh berbeda. Pendudukan telah membuat banyak tradisi menjadi kenangan yang jauh untuk dihidupkan kembali. Hazem, seorang blogger Palestina asal Gaza, menuliskan bagaimana kakek dan neneknya menceritakan keceriaan Ramadan yang dahulu mereka lalui.
Orang tua dan kakek-nenek kita masih membicarakan sesuatu yang disebut meriam berbuka puasa, dan begitu mereka mengingatnya, mereka berharap masa lalu akan kembali. Kakekku meneteskan air mata kepahitan saat dia berkata:
“Wahai cucuku, andai saja meriam berbuka puasa kembali. Ini akan membawa kebahagiaan ke setiap rumah dan kamar. Kami semua biasa berkumpul di rumah nenekmu dan duduk di sekitar perapian, merayakan malam Ramadan.
Hidangan Spesial Ramadhan dari Tanah Al-Quds

Tradisi lain yang menandai waktu berbuka puasa di Palestina adalah hidangannya. Keluarga Palestina biasanya saling berkunjung selama Ramadan, membawakan hidangan untuk berbuka. Kurma adalah buah yang selalu ada, berbagai jenis kurma di Palestina akan berkumpul di atas satu meja. Selain itu, pasar-pasar di Palestina akan dipenuhi kalangan penjual manisan dan kue “qatayef”, hidangan penutup yang hampir selalu ada di meja keluarga Palestina pada Ramadan.
Tradisi menikmati qatayef dimulai pada masa Dinasti Abasiyyah hingga menyebar ke seluruh wilayah kekuasaan Islam saat itu.Bentuk qatayef mirip dengan panekuk mini. Adonan qatayef merupakan campuran tepung, susu, dan ragi. Setelah matang, qatayef dapat dimakan begitu saja atau ditambah dengan isian yang berbeda seperti kurma, kacang-kacangan, kismis, yogurt, krim, dan kenari giling yang dicampur dengan kelapa dan kayu manis.
Sementara itu, minuman khas yang mengisi Ramadan di Palestina adalah Qamaruddin, yang terbuat dari buah aprikot. Awal penamaannya adalah ketika Khalifah Umayyah, al-Walid bin Abdul-Malik, memerintahkan pembagian minuman aprikot segera setelah melihat hilal Ramadan, sehingga ia menyebutnya Qamaruddin. Kota Beit Jalla dan Ramallah merupakan penghasil aprikot terbaik di Palestina.
Ada banyak hal yang mengikat orang-orang Palestina dengan Ramadan, sejak dari penyambutannya, waktu sahur, waktu berbuka, hingga nanti Ramadan berakhir. Hal ini sebab dalam Islam Ramadan merupakan bulan suci yan dinanti-nanti. Kehadirannya disambut sepenuh hati dan kepergiannya diiringi dengan harapan agar nanti dapat bertemu kembali.
Sumber: Adara Relief