KHALIFAH Al-Ma’mun (khalifah ke-7 dari Dinasti Abbasiyah) berhasil mengalahkan saudaranya Al-Amin dalam perebutan kekuasaan atas tahta Abbasiyah, pada 813 M.
Tentu saja tidak ada yang benar-benar diuntungkan dalam persengketaan ini. Saat konflik berakhir, struktur dan personel militer kedua belah pihak sama-sama “cacat” permanen.
Kesetiaan para panglima dan prajurit pendukung khalifah yang kalah jelas sangat patut diragukan. Rakyat pun menderita. Terlebih, tidak lama kemudian sang khalifah baru, Al-Ma’mun, terbukti mengeluarkan perintah kontroversial: al-mihnah, yang secara harfiah berarti “pengujian”.
Setelah 20 tahun memerintah, Al-Ma’mun wafat mendadak pada 833 M, semasa memimpin pasukannya berjihad melawan Romawi. Sebelum ruhnya melayang ke haribaan Allah, ia sempat mengangkat saudaranya Al-Mu’tashim sebagai pengganti.
Di hadapan para panglima dan anak-anaknya yang hadir, khalifah baru pun dibai’at di medan perang. Pilihan Al-Ma’mun kepada saudaranya, bukan anaknya, tampaknya dilatari faktor ketidakstabilan kondisi politik dan militer di Baghdad.
Sosok Al-Mu’tashim memang dikenal cakap dan cemerlang. Lebih layak memimpin dalam situasi sulit. Namun, saat Al-Mu’tashim kembali ke ibu kota, ia merasakan penolakan dari kaum elit maupun masyarakat. Di sisi lain, kekuatan militer yang ia warisi dari saudaranya masih dalam kondisi “cacat” atau “sakit”, sisa-sisa konflik terdahulu.
Ibu Kota Baru, Samarra
Demi mengokohkan posisi, ia pun merekrut puluhan ribu personel baru dari tepi-tepi wilayah Abbasiyah. Anak-anak kecil dari suku-suku Turki dan lain-lain dibawa ke ibu kota sebagai budak.
Mereka diislamkan, lalu dididik dalam barak-barak militer untuk menjadi prajurit yang loyal dan tangguh. Mereka memang budak milik khalifah, namun nasibnya baik dan kehidupannya terjamin.
Hanya saja, tak lama kemudian Baghdad menjadi penuh sesak dengan puluhan ribu tentara baru dari suku-suku asing ini. Masyarakat dan kaum elit bergolak, membuat Al-Mu’tashim gerah.
Luka lama sejak zaman Al-Ma’mun menganga kembali. Dengan hati masygul, khalifah pun memutuskan membangun ibu kota baru, Samarra, ratusan kilometer jauhnya dari Baghdad, pada 836 M.
Ia merasa ditolak dan setiap hari di Baghdad hanya menambah kesempitan dada. Konon, ibu kota baru ini teramat indah.
Ibu kota ini dibangun dengan dana tak terbatas. Semua teknologi terkini dan desain terbaik hadir di dalamnya, agar layak menjadi singgasana yang nyaman bagi khalifah yang merasa ditolak rakyat dan pemuka kaumnya sendiri.
Samarra, sebenarnya pemukiman kuno, sudah dihuni sejak beberapa milenium sebelum masehi. Sejak zaman Harun Ar-Rasyid juga sudah mulai dilirik, namun dalam skala lebih kecil.
Al-Mu’tashim hanya membangunnya agar lebih anggun. Konon, sedemikian cantiknya ibu kota baru ini sampai namanya dikatakan sebagai singkatan dari Sarra Man Ra’a, artinya “pasti senang siapa pun yang melihatnya.”
Nama Samarra sendiri (atau lafal-lafal purbanya) kemungkinan sudah dipakai sejak zaman kuno.
Memang benar, lebih dari setengah abad kota indah ini menjadi ibu kota dan tempat beberapa khalifah Abbasiyah memerintah. Hanya saja, tak ada yang bisa menggantikan Baghdad.
Bagai kekasih dari cinta pertama, ibu kota lama tetaplah yang terfavorit. Baghdad terus tumbuh, dan setelah khalifah dan tentara pergi darinya, ia justru bergulir dalam ketenangan ilmu dan adab. Hiruk-pikuk politik dan kekuasaan menjauh 125 km ke utara.